Tribun Sumatera.com – Kaur ” Sebagaimana yang dilansir dari RKa.co.id bahwa, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bintuhan sekaligus Ketua Majelis Hakim, Aidil Hakim,SH,MH tiba-tiba mengatakan akan tuntut wartawan Radar Kaur (RKa) yang sedang meliput persidangan kasus lalu lintas di Ruang Sidang Chandra, Selasa (15/2/2022). Wartawan tentu saja kaget atas pernyataannya tersebut dan berusaha memahami maksudnya.
Sebelum menyampaikan itu, Ketua PN menanyakan kepada wartawan apakah sudah meminta izin untuk mengambil gambar persidangan. Dan dijawab wartawan belum, karena wartawan berfikir ia sudah menunjukan kartu pers kepada penjaga pintu masuk ruangan sidang. Lantas Ketua PN mengatakan bahwa ia bisa menuntut wartawan bila mengambil gambar tanpa izin.
Peristiwa itu terjadi tepat ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Kaur sedang membacakan tuntutan pada persidangan dengan nomor perkara 6/pid.sus/2022/PN.Bhn dengan klasifikasi perkara lantas. Pembacaan Tuntutan dilakukan oleh Novy Saputra,SH dengan terdakwa Amiko Bin Musal Aziz.
Sidang perkara dengan agenda tutuntan itu sejatinya sudah dijadwalkan sekitar pukul 10.00 WIB, namun kemudian ditunda secara mendadak dengan alasan Ketua PN sedang menghadiri kegiatan di Pemda Kaur. Dan kemungkinan akan dilaksanakan setelah Shalat Dzuhur. Wartawan yang saat itu bertemu dengan Bagian Humas PN menanyakan jadwal pasti, namun tidak mendapatkan kepastian. Sehingga pukul berapa sidang akan dimulai, semua tergantung dengan kehadiran Ketua PN itu.
Kemudian tiba-tiba sekitar pukul 13.00 WIB, wartawan yang saat itu menunggu di bagian belakang Gedung PN Bintuhan mendengar bahwa persidangan sudah dimulai. Secara terburu-buru datang ke ruang siang. Pada saat bersamaan juga keluarga korban yang baru tahu, juga ikut masuk. Pada saat itu, seorang petugas PN Bintuhan yang berjaga di pintu ruang sidang menanyakan identitas wartawan, ditunjukan kartu Pers dan dipersilakan masuk.
Wartawan mengamati bahwa pembacaan tuntutan akan segera selesai, dan buru-buru mengeluarkan handphone kamera untuk mengambil poto. Hal itu dilakukan berdasarkan pengalaman wartawan bahwa momen sidang pembacaan tuntutan tidak akan berlangsung lama. Dan bila momen itu lewat, maka kesempatan untuk mengambil poto akan terlewatkan.
Salah seorang keluarga korban, Agussalim kemudian meminta izin kepada ketua majelis dan menanyakan tentang maksud ancaman yang dikeluarkannya itu. Padahal persidangan sudah dibuka untuk umum serta tidak mengganggu ketertiban jalannya sidang.
Yang mulia, saya ingin menanyakan larangan mengambil foto dan video yang disampaikan. Saya saat ini juga bersidang di pengadilan tinggi di Jakarta. Dan disana semua bebas untuk mengambil foto dan video. Apalagi yang melakukan tadi adalah wartawan. Apakah ada aturannya hingga wartawan bisa dituntut atas pengambilan gambar itu. Kalau ada aturannya tolong sampaikan kepada kami. Dan tolong jelaskan juga kenapa di sini dilarang, sementara di Jakarta tidak dilarang,” tanya Agussalim. Menjawab itu, Ketua PN hanya mengatakan silakan menemui humas, nanti akan dijelaskan.
JPU Tuntut 10 Bulan Penjara
Sementara itu, pada persidangan dengan agenda tuntutan itu, JPU menuntut terdakwa dengan hukuman penjara 10 bulan. Dengan pasal yang diterapkan adalah Pasal 310 Ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Yang berbunyi “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000”.
Keluarga Korban Tidak Puas dan Tuntut Keadilan
Perwakilan keluarga korban, Agussalim menyatakan tidak puas terhadap tuntutan hukuman yang dibacakan oleh JPU Kejari Kaur. Agussalim menduga bahwa tuntutan tersebut sudah diatur demi membebaskan terdakwa dari hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Bahkan ia memperkirakan, terdakwa hanya akan diputus hukuman percobaan.
Apalagi sejak kasus ini teregister di Pengadilan Negeri (PN) Bintuhan per 7 Januari 2022, terdakwa tidak pernah ditahan.
Sementara pihak terdakwa dengan pihak keluarga korban sama sekali belum pernah melakukan perdamaian secara kekeluargaan. Keputusan PN Bintuhan memberikan kebebasan kepada terdakwa sangat mengusik rasa keadilan pihak korban.
Agussalim yang didampingi orang tua korban, Merdian menceritakan bahwa korban M. Alif Al-Rasyid (5) mendapatkan luka berat dan permanen akibat kasus laka lantas itu. Kaki kanannya patah tebu, dan saat ini diberikan pin untuk kesembuhannya. Cidera parah juga dialami pada bagian kepala. Hampir setengah bagian kepalanya terkelupas pada bagian kulit. Alif sempat mengalami kritis pada laka lantas yang terjadi 16 Oktober 2021 itu.
Sehingga Alif dirujuk ke Rumah Sakit M. Yunus Bengkulu. Namun pelaku penabraknya justru bebas berkeliaran. Bahkan tanpa ada perdamaian atau penyelesaian secara kekeluargaan dengan keluarga Merdian sebagai pihak korban.
Pelaku tanpa pernah melakukan perdamaian secara kekeluargaan dengan keluarga korban. Namun dapat bebas tanpa ditahan,” kata Agus.
Agus menjelaskan, sesuai dengan keterangan Merdian, bahwa keluarga pelaku pernah mengajak untuk perdamaian. Tapi perdamaian yang diminta tanpa diiringi pertanggungjawaban terhadap kondisi korban. Padahal korban dengan kondisi seperti itu sudah pasti memerlukan pengobatan dengan dana yang tidak sedikit. Hal ini sama sekali tidak pernah dibahas oleh keluarga pelaku.
“Jadi seakan-akan anak kami yang korban ini, tidak dianggapnya manusia. Cuma minta berdamai tapi tidak menyatakan akan bertanggung jawab,” tambah Agus.
Agus memastikan pihaknya akan terus menuntut keadilan diterapkan. Sehingga pelaku mendapatkan hukuman setimpal.
Pihaknya juga tidak menutup pintu perdamaian, namun tentu saja dengan cara manusiawi dan dengan rasa pertanggungjawaban.
Penjelasan Humas PN Bintuhan
Humas PN Bintuhan, Endang menjelaskan tidak ada larangan bagi wartawan untuk mengambil gambar atau video pada persidangan yang sudah dinyatakan terbuka untuk umum. Menurutnya, maksud Ketua PN itu adalah harus meminta izin terlebih dahulu. Namun soal maksud Ketua PN ingin menuntut wartawan, Endang tidak dapat menanggapi karena ia sendiri tidak menyimak perkataan Ketua PN saat itu. Sementara soal permintaan izin itu, pihak PN Bintuhan mengacu pada Surat Edaran Dirjen Badan Peradilan Umum (Badilum) Nomor 2 Tahun 2020.
Upaya konfirmasi dengan pihak terkait terus di upayakan.(Okawa)